Hari ini, sabtu 24 Oktober 2009, saya membeli koran kompas cetak sambil menunggu dijemput oleh panitia pelatihan PTK di Tol Jatibening. Ketika membaca kolom opini halaman 6 ada sebuah judul yang menarik. Judulnya, Mutu pendidik yang mengecewakan. Tulisan itu ditulis oleh bapak Ali Khomsan, guru besar fakultas Ekologi Manusia IPB yang dapat anda baca secara lengkap di sini. (http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/24/05203623/mutu.pendidik.yang.mengecewakan)
Dalam tulisannya beliau menuliskan bahwa Kinerja guru tampak meningkat saat mengurus sertifikasi guru. Namun, setelah itu, mereka kembali bertugas seperti semula, tak ada perbaikan performans. Karena itu, guru yang baik, yang telah maupun belum mendapatkan sertifikasi, perlu terus mendapatkan pelatihan, aktif mengikuti seminar atau lokarya untuk mendapatkan wawasan tambahan guna memperbaiki kinerjanya di sekolah.
Di halaman lain, dikolom humaniora dituliskan banyak guru tak pantas jadi guru. Anda bisa melihatnya di http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/24/04173953/banyak.guru.tak.pantas.jadi.guru.
Terus terang, setelah membaca kedua tulisan di atas, sebagai seorang guru yang berprofesi sebagai pendidik membuat saya terpacu untuk menjadi guru yang tidak mengecewakan civitas akademika. Mengecewakan peserta didik, orang tua dan sekolah. Oleh karena itu, saya harus selalu meng-upgrade kemampuan yang saya miliki agar dapat dikatakan sebagai guru profesional. Guru yang mampu melayani peserta didiknya dengan baik. Mutu pendidik harus menjadi tidak mengecewakan.
Agar mutu pendidik tidak mengecewakan, maka guru yang bersangkutan harus bisa meneliti, menulis sendiri Rencana program pembelajarannya dan menyiapkan segala perangkat pembelajaran. Sebab biar bagaimanapun, sistem penilailan kinerja guru sampai saat ini masih menggunakan sistem portofolio, dimana guru dituntut untuk mengumpulkan berkas portofolionya sebanyak-banyaknya. Memenuhi persayaratan jumlah point 850 point agar bisa lulus sertifikasi guru dalam jabatan.
Memang sungguh menyedihkan, apa yang telah dicanangkan oleh pemerintah agar guru sejahtera dan bermartabat melalui sertifikasi guru belum berjalan lancar. Apalagi bila kita melihat prosesnya masih amburadul dan menuai kritik. Tidak jelas dana itu sebenarnya ada dimana, di pemerintah pusata atau sudah di daerah, sebab pencairannya terkesan diperlambat. Mungkin bisa juga ditabungkan agar bunganya bisa masuk ke kantong pejabat. Saya tidak tahu, tapi Allah maha tahu. Sebab ketika saya tanya langsung kepada kedua belah pihak, yang dari pusat mengatakan bahwa dana itu sudah turun ke daerah, sedangkan dari daerah mengatakan dana dari pusat belum cair. Mana yang benar saya tidak tahu. Mungkin terjadi mis manajemen, mungkin juga administrasinya yang tidak profesional, seperti apa yang saya alami dan juga banyak teman guru yang mengalaminya. Berkas portofolio saya hilang.
Saya sendiri mengalami, bagaimana sulitnya menemukan berkas portofolio saya yang hilang itu, dan entah kemana keselipnya. Saya sudah menyusur mulai dari dinas pendidikan setempat sampai direktorat jenderal peningkatan mutu pendidik dan tenaga pendidikan (PMPTK) tingakat pusat di depdiknas Senayan. Untunglah saya masih bisa diikutsertakan dalam PLPG, dan pada akhirnya saya mendapatkan sertifikat pendidik sebagai guru profesional di bidang TIK SMP.
Sertifikasi guru memang sungguh melelahkan. Sangatlah wajar apabila pada saat penilaian sertifikasi guru, banyak kinerja guru yang naik dan terkesan meningkat. Hal ini berkaitan dengan jumah point yang harus mereka penuhi. Bila tak mencapai itu maka mereka dinyatakan tak lulus sertifikasi guru. jadilah para guru menjadi seorang pemburu dan bukan pendidik. Mereka tanpa sadar telah menjadi pemburu sertifikat, mengikuti seminar dan workshop ini dan itu agar bisa lulus sertifikasi guru.
Proses sertifikasi guru memang tak semudah sertifikasi dosen, guru benar-benar diminta menyerahkan arsip portofolionya dari apa yang telah dilakukannya selama ini sebagai guru. Sebagai guru yang ingin lulus sertifikasi guru dalam jabatan tentu saya ingin lulus murni. Tidak mengurangi atau menambah jam mengajar yang diminta agar sampai 24jam sesuai dengan ketentuan dari pemerintah. Oleh karena itu saya melengkapinya dengan tambahan karya tulis saya yang telah beberapa kali masuk final di tingkat nasional.
Namun apa mau di kata, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, saya di telpon oleh panitia dari pemda jaktim agar segera mengirimkan berkas kembali dan mengikuti PLPG diFT UNJ. Awalnya saya bersedih hati karena tak lulus murni dalam sertifikasi guru, namun mendengar teman saya yang pernah menjadi guru berprestasi tingkat nasional juga harus ikut PLPG, membuat saya kembali bersemangat. Batin saya mengatakan, guru yang sudah salaman sama pak SBY saja dinyatakan tidak lulus dan harus mengikuti PLPG. apalagi saya, yang belum bersalaman sama pak SBY, hehehehe.
Ternyata, setelah mengikuti PLPG, saya justru bersyukur kepada Allah, karena banyak ilmu yang saya dapat, banyak teman baru yang saya kenal, dan ada tambahan uang saku dari panitia. Di dalam PLPG itu kami diberikan pelatihan bagaimana mengelola pembelajaran yang baik, memanfaatkan media pembelajaran, membuat RPP yang benar dan tidak sekedar copy and paste serta dibimbing bagaimana melaksanakan PTK dan lesson study. Terus terang saya sangat bersyukur sekali mendapatkan pelatihan ini. Membuat saya semakin refresh dan saya pun menjadi tahu kelemahan saya dalam menyampaikan materi pelajaran, karena di Pelatihan PLPG ini kita diberikan masukan tentang gaya mengajar kita oleh para asesor yang baik hatinya. Ada juga dari mereka yang dulunya adalah dosen saya sewaktu S1.
Saya justru megusulkan kepada pemerintah. Mereka-mereka yang sudah lulus sertifikasi ini dikumpulkan dan diberikan tambahan pengetahuan tentang ilmu pembelajaran yang saat ini telah berkembang pesat. Tapi agaknya, rencaa ini sulit dilakukan karena minimnya anggaran pemeritah. Untuk sertifikasi guru saja, pemerintah masih menganggarkan alokasi dana yang tidak sedikit, apalagi harus mengumpulkan kembali mereka-mereka yang sudah lulus sertifikasi guru.
Oleh karenanya agar mutu pendidik tidak mengecewakan, maka harus ada kesadaran dari para penddik itu, baik guru maupun dosen untuk senantiasa belajar sepanjang hayat. Memperbaiki kualitas pembelajarannya melalui penelitian tindakan kelas (PTK) dan melaporkannya dalam bentuk laporan karya tulis ilmiah (KTI). Bukankah banyak guru yang masih belum mampu membuat KTI?
Bila budaya atau tradisi meneliti dan menulis KTI telah menjadi budaya sekolah dan selalu dilaksanakan oleh para guru, maka mutu pendidik kita tak akan pernah mengecewakan. Sebab mereka selalu melakukan instropeksi diri dengan melakukan PTK yang benar, dimana mereka dapat memisahkan antara tindakan dengan penelitian. Di dalam PTK itulah para guru menemukan potensi unik siswa dan mengembangkan karakter peserta didik agar menjadi orang yang berbudi luhur dan bertakwa. Bukan orang pintar yang licik, tetapi orang pintar yang bijaksana, mampu merendahkan dirinya seperti ilmu padi kian berisi kian merunduk.
Akhirnya, guru-guru di sekolah kita harus pantas menjadi guru dan tidak mengecewakan stake holder yang ada di dalamnya. Menjalankan profesinya dengan penuh tanggungjawab dan sanggup menjadi agen pembelajaran. Guru harus menjadi orang pintar yang beruntung bukan orang bodoh yang beruntung seperti apa yang dituliskan oleh gde prama di http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/24/05180036/orang.bodoh.yang.beruntung. Mari kita terus bekerja, belajar, dan berdoa agar kita menjadi orang yang bijaksana dan tidak mengecewakan orang lain.
Salam blogger Kompasiana
Omjay
Tidak ada komentar:
Posting Komentar